
Mayor Jenderal J.H.R. Köhler, seorang komandan militer Belanda, memainkan peran penting dalam Ekspedisi Aceh Pertama. Lahir pada tahun 1818, Köhler dikenal sebagai pemimpin yang ambisius dan tegas. Pada 8 April 1873, dia mendarat di pantai Banda Aceh, dekat Krueng Aceh, dengan tujuan membangun pangkalan jembatan dan kemudian bergerak menuju Kraton, tempat kediaman Sultan Aceh. Namun, posisi pasti Kraton ini tidak diketahui oleh pasukannya. Ekspedisi militer ini menandai awal konfrontasi besar antara pasukan Belanda dan pejuang Aceh. Pada 10 April 1873, Köhler menerima promosi menjadi Mayor Jenderal, meningkatkan posisinya di kalangan militer Belanda.
Hari berikutnya, pertempuran semakin memanas saat pasukan Belanda membakar Missigit, sebuah masjid beratap jerami yang memiliki nilai religius tinggi bagi masyarakat Aceh. Kebakaran ini memicu perlawanan sengit dari pihak pejuang Aceh, membuat situasi menjadi lebih kacau dan sulit terkendali. Meskipun pasukan Belanda mampu mundur sementara waktu, mereka merencanakan serangan lanjutan. Pada 14 April 1873, pertempuran kembali terjadi, dengan pasukan Belanda yang lebih siap dan terorganisir. Kira-kira pukul 8.30 pagi, Köhler tiba di medan pertempuran untuk memantau situasi secara langsung. Ketika dia sedang mengamati dengan teropongnya, dia tertembak oleh seorang penembak jitu Aceh, dan tewas seketika. Serangan mendadak ini menciptakan kepanikan di kalangan pasukan Belanda, dan tubuh Köhler segera dibawa menjauh dari lokasi pertempuran. Dalam keadaan kritis, Köhler sempat mengucapkan kata-kata terakhirnya, “O God, ik ben getroffen!” yang berarti “Oh Tuhanku, aku terkena peluru!”. Jasadnya kemudian dibawa ke Jawa untuk dikuburkan di pemakaman Tanah Abang, Batavia (sekarang Jakarta).
Meninggalnya Mayor Jenderal J.H.R. Köhler di medan perang membuatnya menjadi panglima perang Belanda pertama yang gugur dalam konflik di Aceh. Jenazahnya, setelah diungsikan ke Singapura, kemudian dibawa ke Batavia dan dikuburkan di Tanah Abang. Namun, cerita mengenai jasad Köhler tidak berakhir di situ. Setelah lebih dari seabad, tepatnya pada tahun 1978, jasadnya dipindahkan kembali ke Aceh atas permintaan masyarakat Aceh dan pemerintah setempat. Pada 19 Mei 1978, upacara militer dilakukan untuk menguburkan Köhler di Peutjoet Kerkhof, sebuah kompleks pemakaman di Banda Aceh yang dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi tentara Belanda yang gugur selama Perang Aceh.
Peutjut Kerkhof, yang juga dikenal sebagai Kerkhof Peutjut, merupakan pemakaman terbesar di Indonesia yang diperuntukkan bagi tentara Belanda. Kompleks ini menjadi tempat bagi lebih dari 2.200 serdadu Belanda yang tewas dalam berbagai pertempuran, sejak agresi pertama pada tahun 1873 hingga menjelang Perang Dunia II. Nama-nama para tentara, beserta lokasi dan penyebab kematian mereka, terukir di dinding-dinding gerbang pemakaman. Tidak hanya tentara, kompleks ini juga menjadi tempat peristirahatan bagi warga sipil Belanda yang terlibat dalam konflik.
Pemakaman Köhler di Kerkhof Peutjut dihadiri oleh berbagai pejabat penting, baik dari Indonesia maupun Belanda. Beberapa di antaranya adalah Atase Militer Kedutaan Besar Belanda, Kolonel J. Linzel; Kepala Staf Polri, Kolonel Drs. Azhar Kasim; dan Kepala Staf Kodam I, Jafar Ahmad. Hadir pula Gubernur Aceh, A. Muzakir Walad, serta perwakilan dari Majelis Ulama dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh. Upacara pemakaman ini menunjukkan betapa pentingnya sosok Köhler dalam sejarah hubungan antara Belanda dan Aceh, meskipun ia datang sebagai musuh.
Monumen makam Köhler di Peutjut Kerkhof memiliki keunikan tersendiri. Terdapat simbol Ouroboros di bawah nama Köhler, melambangkan siklus hidup dan kematian yang abadi, serta adanya simbol-simbol lain seperti Hexagram atau Bintang David. Keberadaan simbol-simbol ini menunjukkan betapa beragamnya latar belakang dan kepercayaan di dalam jajaran tentara kolonial Belanda, dan memperlihatkan bahwa bahkan dalam kematian, Kohler tetap menjadi figur yang menarik perhatian.
Meski Perang Aceh berakhir dengan kemenangan Belanda, harga yang harus dibayar sangat mahal. Sekitar 12.000 prajurit Belanda dan lebih dari 70.000 pejuang Aceh kehilangan nyawa mereka. Banyak di antara mereka yang dimakamkan tanpa nisan, tak dikenal, namun tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah perjuangan Aceh. Kohler, sebagai salah satu tokoh sentral dalam agresi militer pertama ini, terus diingat sebagai simbol dari ketegangan dan perlawanan yang terjadi antara Belanda dan Aceh. Monumennya di Kerkhof Peutjoet kini menjadi pengingat abadi dari konflik yang pernah mengguncang wilayah tersebut.