Gedung Sentral Telepon merupakan salah satu situs bersejarah peninggalan masa kolonial Belanda yang terletak di Gampoeng Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, di pusat Kota Banda Aceh. Gedung ini menempati sudut strategis di persimpangan Jalan Teuku Umar. Pada masa lalu, bangunan ini digunakan sebagai pusat komunikasi telepon militer Belanda dan berfungsi sebagai Kantor Telepon Koetaradja, sebuah nama yang merujuk pada Banda Aceh kala itu. Bangunan ini dibangun pada tahun 1903, disaat Aceh berada di masa kepemimpinan Sultan Muhammad Daud Syah yang memerintah antara tahun 1874 hingga 1903. Angka 1903 ini juga tertera di bagian atas bangunan, tepatnya di dekat ventilasi jendela, menandai tahun pendiriannya.

Keberadaan Gedung Sentral Telepon ini berperan penting bagi Belanda dalam mengendalikan komunikasi jarak jauh, terutama untuk kepentingan militer. Fasilitas telepon di gedung ini memungkinkan Belanda untuk berkomunikasi secara langsung dengan Batavia (Jakarta) dan berbagai daerah lain, menggantikan penggunaan telegraf yang sebelumnya menjadi alat komunikasi utama. Jaringan telepon yang dibangun Belanda di Aceh menjangkau berbagai daerah seperti Ulee Lheu, Sabang, Sigli, Bireuen, Takengon, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peureulak, dan Kuala Simpang. Bahkan jaringan ini meluas hingga beberapa kota di Sumatera Utara seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Berastagi, dan Asahan.

Dalam sejarahnya, gedung ini sangat membantu Gubernur Militer Belanda dalam melakukan koordinasi menghadapi perlawanan pejuang Aceh. Saking seringnya gedung ini digunakan untuk menerima laporan serangan dari para pejuang, Gubernur Belanda pernah beberapa kali memutus kabel telepon untuk menghindari beban mental dari laporan-laporan tersebut. Pusat telepon ini menjadi instrumen penting dalam pengelolaan informasi strategis bagi militer Belanda selama Perang Aceh.

Setelah Belanda meninggalkan Aceh pasca Perang Dunia II, gedung Sentral Telepon ini mengalami beberapa kali peralihan fungsi. Pada masa pendudukan Jepang antara tahun 1942 hingga 1945, gedung ini tetap digunakan sebagai pusat komunikasi telepon, namun kali ini untuk keperluan militer Jepang. Jepang menyadari pentingnya gedung ini sebagai pusat strategis untuk menjaga komunikasi antar wilayah selama masa perang. Oleh karena itu, mereka mempertahankan penggunaan gedung ini dengan fungsi yang hampir sama seperti yang dilakukan oleh Belanda sebelumnya.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945, gedung ini diambil alih oleh militer Indonesia. Gedung Sentral Telepon kemudian difungsikan sebagai kantor telepon militer di bawah komando Kodam I/Iskandar Muda, yang dikenal dengan nama Wiserbot (WB) Taruna. Penggunaan gedung ini oleh militer Indonesia menunjukkan kontinuitas pentingnya peran komunikasi dalam operasi militer di Aceh, bahkan setelah berakhirnya kolonialisme. Perubahan fungsi ini mencerminkan adaptasi gedung ini terhadap kebutuhan yang berkembang di setiap era, dari masa kolonial hingga era kemerdekaan.

Pada tahun-tahun berikutnya, gedung ini juga mengalami sejumlah perubahan penggunaan. Gedung yang awalnya dibangun dengan tujuan militer, kemudian digunakan sebagai kantor untuk berbagai keperluan sipil. Salah satu perubahan yang signifikan adalah ketika gedung ini difungsikan sebagai kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh. Setelah masa penggunaan oleh KONI, gedung ini sempat menjadi kantor surat kabar lokal, Atjeh Post, yang juga berperan penting dalam penyebaran informasi di wilayah Aceh.

Pada akhirnya, gedung ini diambil alih oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan dijadikan kantor cabang PSSI untuk wilayah Aceh. Pergantian fungsi yang berulang-ulang ini menunjukkan bagaimana gedung Sentral Telepon terus menjadi bagian penting dari infrastruktur kota Banda Aceh, meskipun peran spesifiknya terus berubah sesuai dengan kebutuhan zaman.

Pada tahun 1999, Gedung Sentral Telepon ini secara resmi ditetapkan sebagai cagar budaya nasional melalui Surat Keputusan dengan nomor 014/M/1999 yang dikeluarkan pada 12 Januari 1999. Penetapan ini menegaskan pentingnya gedung ini sebagai bagian dari warisan sejarah Indonesia, terutama sebagai simbol penting dari masa kolonial Belanda di Aceh. Dengan statusnya sebagai cagar budaya, gedung ini diharapkan dapat dilestarikan untuk generasi mendatang sebagai pengingat akan peran penting yang dimainkannya dalam sejarah komunikasi dan militer di Aceh.

Secara arsitektural, Gedung Sentral Telepon ini memiliki karakteristik khas bangunan kolonial Belanda. Gedung ini didesain dengan gaya Eropa yang kuat, namun juga disesuaikan dengan kondisi iklim tropis di Aceh. Desain ini terlihat pada struktur bangunan yang kokoh dengan penggunaan beton yang tebal pada lantai pertama, sementara lantai kedua lebih ringan dengan bahan kayu yang tahan terhadap cuaca tropis. Jendela-jendela besar yang ada di setiap sisi bangunan tidak hanya berfungsi sebagai elemen estetika, tetapi juga memastikan sirkulasi udara yang baik di dalam gedung, yang sangat penting dalam iklim panas dan lembap di Aceh.

Bangunan ini memiliki bentuk oktagonal atau segi delapan, yang merupakan salah satu ciri khas arsitektur kolonial pada masa itu. Bagian luar gedung ini dicat dengan warna putih, yang memberikan kesan megah dan elegan, sementara ventilasi berjalusi dan jendela-jendela besar memberikan kesan terbuka yang menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Meskipun fungsinya telah berubah-ubah selama lebih dari satu abad, desain arsitektur gedung ini tetap dipertahankan dengan baik, menjadikannya sebagai salah satu contoh terbaik dari arsitektur kolonial di Aceh.

Namun, meskipun telah ditetapkan sebagai cagar budaya, kondisi fisik gedung ini saat ini memperlihatkan tanda-tanda kerusakan. Beberapa bagian bangunan seperti jendela dan ventilasi terlihat sudah mulai rusak, dengan beberapa bagian kayu yang keropos dan atap yang berkarat. Kondisi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian bangunan-bangunan bersejarah di Indonesia, terutama yang telah berusia lebih dari satu abad.

Meskipun kondisi fisik gedung Sentral Telepon mengalami penurunan, nilai sejarah dan arsitektur yang terkandung di dalamnya tetap menjadikannya sebagai salah satu bangunan yang penting di Banda Aceh. Lokasinya yang berada di tengah kota, tepatnya di Jalan Teuku Umar No. 1, Kelurahan Sukaramai, membuat gedung ini mudah diakses dan terlihat oleh banyak orang yang melintasi area tersebut. Rindangnya pepohonan trembesi di sekitarnya menambah nuansa sejuk dan tenang, yang sekaligus kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan modern di sekitarnya.

Pentingnya Gedung Sentral Telepon tidak hanya terletak pada nilai sejarahnya, tetapi juga pada potensinya sebagai bagian dari identitas Kota Banda Aceh. Dengan mempertahankan dan memulihkan bangunan ini, Banda Aceh dapat menawarkan destinasi wisata yang kaya akan nilai sejarah, sekaligus memperkuat identitas budaya kota yang selama ini dikenal sebagai pusat peradaban Islam di Nusantara. Mengingat letaknya yang strategis dan mudah diakses, gedung ini berpotensi menarik wisatawan yang ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah kolonial di Aceh.

Referensi: