
Masjid Raya Baiturrahman, yang terletak di pusat kota Banda Aceh, adalah salah satu bangunan bersejarah yang memiliki makna simbolis yang besar bagi masyarakat Aceh. Masjid ini didirikan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dan pada masa tersebut Masjid Raya Baiturrahman kemudian diperluas dan menjadi pusat kegiatan keagamaan serta pendidikan di Kesultanan Aceh Darussalam. Masjid ini kemudian dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi Islam terbesar di Asia Tenggara, dengan nama Al-Jamiah Baiturrahman, yang memiliki 15 fakultas dan mengundang para ulama dari berbagai negara seperti Turki, Arab, Persia, dan India.
Selama masa kolonial Belanda, Masjid Raya Baiturrahman menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi benteng pertahanan rakyat Aceh dalam perang melawan Belanda. Pada tanggal 10 April 1873, dalam agresi pertama Belanda, Masjid Raya Baiturrahman menjadi target serangan. Namun, rakyat Aceh berhasil mempertahankan masjid ini dan bahkan berhasil menewaskan Mayor Jenderal H.R. Kohler di halaman masjid. Peristiwa ini membuat amarah rakyat Aceh semakin berkobar, dan masjid ini menjadi simbol utama perlawanan.
Meskipun berhasil mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman dalam agresi pertama, Belanda tidak menyerah begitu saja. Mereka melancarkan agresi kedua pada bulan Januari 1874 di bawah komando Jenderal J. van Swieten. Dalam serangan ini, Belanda berhasil merebut masjid raya dan membakarnya hingga rata dengan tanah. Pembakaran Masjid Raya Baiturrahman oleh Belanda menimbulkan kemarahan yang luar biasa di kalangan rakyat Aceh. Masjid yang menjadi simbol agama dan identitas mereka dihancurkan oleh penjajah, memicu semangat perlawanan yang semakin kuat.
Belanda menyadari bahwa mereka harus meraih kembali hati rakyat Aceh jika ingin menguasai wilayah tersebut. Untuk itu, mereka memutuskan untuk membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman sebagai upaya menarik simpati masyarakat. Pada tanggal 13 Syawal 1296 H atau 9 Oktober 1879 M, Gubernur Jenderal Van Der Heijden memerintahkan pembangunan kembali masjid tersebut di lokasi yang sama. Masjid baru ini dirancang oleh insinyur Belanda bernama Gerrit Bruins, dengan gaya arsitektur Indo-Persiani yang unik, sehingga masjid ini menjadi masjid berkubah pertama di Asia Tenggara, dan penggunaan kubah ini menandai perubahan signifikan dalam arsitektur masjid di kawasan Aceh dan wilayah Hindia Belanda lainnya.
Kontraktor yang bertanggung jawab atas pembangunan masjid ini adalah seorang letnan Cina bernama Lie A Sie. Keberadaan unsur kebudayaan Cina terlihat jelas pada atap depan masjid yang berwarna merah, mengingatkan pada pola atap bangunan Cina pada masanya. Material utama yang digunakan dalam pembangunan masjid ini sebagian besar diimpor dari berbagai negara, termasuk batu manner dari Cina, besi dari Belgia, kayu dari Birma, dan beberapa material lainnya dari Surabaya.
Pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman oleh Belanda pada tahun 1879 bukanlah sekadar upaya untuk menenangkan rakyat Aceh, tetapi juga sebagai simbol kekuatan dan dominasi kolonial. Masjid ini diresmikan pada tanggal 27 Desember 1881 dengan satu kubah besar di bagian tengahnya. Pada awalnya, masjid ini hanya memiliki satu kubah, yang kemudian menjadi ciri khas arsitektur Indo-Persiani yang diadopsi dalam pembangunannya–seperti halnya Taj Mahal. Meskipun tujuan awal pembangunan kembali masjid ini adalah untuk menarik simpati rakyat Aceh, upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil. Masyarakat Aceh tetap memandang pembangunan masjid ini dengan curiga, mengingat bangunan ini didirikan oleh penjajah yang telah menghancurkan masjid asli mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, Masjid Raya Baiturrahman mulai diterima oleh masyarakat Aceh. Penerimaan ini terutama terjadi setelah beberapa pemimpin lokal terlibat dalam proses renovasi dan perluasan masjid tersebut. Pada tahun 1935, Belanda memperluas masjid dengan menambahkan dua kubah lagi di sisi kanan dan kiri, menjadikannya tiga kubah. Langkah ini diambil untuk kembali menarik simpati rakyat Aceh, yang pada saat itu masih terus berperang melawan Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap Masjid Raya Baiturrahman semakin meningkat. Pada masa pemerintahan Gubernur Ali Hasjmy (1957-1964), masjid ini diperluas menjadi lima kubah. Perluasan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan simbolisme masjid ini bagi rakyat Aceh. Pada masa pemerintahan Gubernur Prof. Dr. Ibrahim Hasan (1986-1993), masjid ini kembali diperluas, penambahan menara, dan renovasi besar-besaran di bagian dalam serta luar masjid.
Masjid Raya Baiturrahman telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting dalam sejarah Aceh, termasuk masa-masa sulit seperti tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Bencana alam tersebut menghancurkan sebagian besar bangunan di sekitar masjid, tetapi Masjid Raya Baiturrahman tetap berdiri kokoh. Keajaiban ini menjadikan masjid sebagai tempat perlindungan bagi ribuan warga yang mencari keselamatan dari gelombang tsunami. Keberadaan masjid yang tetap utuh di tengah kehancuran kota Banda Aceh menambah dimensi spiritual dan keajaiban yang dirasakan oleh masyarakat Aceh terhadap masjid ini.
Setelah bencana tsunami, pemerintah bersama masyarakat Aceh kembali memusatkan perhatian pada pemeliharaan dan pengembangan Masjid Raya Baiturrahman. Pada masa pemerintahan Gubernur Zaini Abdullah (2012-2017), dilakukan proyek besar untuk memperluas kompleks masjid, termasuk penambahan 12 unit payung elektrik di halaman masjid yang terinspirasi dari Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi. Payung-payung ini tidak hanya berfungsi sebagai pelindung jamaah dari panas matahari, tetapi juga menambah keindahan dan kemegahan tampilan masjid.
Selain penambahan payung elektrik, proyek perluasan ini juga meliputi pembangunan basement untuk tempat parkir kendaraan, fasilitas wudhu modern, dan perbaikan beberapa bagian interior masjid. Dengan renovasi ini, daya tampung Masjid Raya Baiturrahman meningkat secara signifikan. Dari sebelumnya hanya mampu menampung sekitar 9.000 jamaah di dalam masjid, kini kapasitasnya meningkat menjadi 24.000 jamaah, baik di dalam maupun di luar masjid. Renovasi ini selesai pada bulan Mei 2017, dan sejak saat itu Masjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu destinasi religi yang tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Aceh, tetapi juga menarik perhatian wisatawan dari berbagai penjuru dunia.
Di balik kemegahannya, Masjid Raya Baiturrahman menyimpan cerita tentang bagaimana arsitektur dan budaya lokal serta pengaruh dari luar bersatu dalam bentuk bangunan yang indah ini. Gaya arsitektur Indo-Persiani yang mendominasi tampilan masjid ini adalah hasil dari perpaduan berbagai elemen budaya yang masuk ke Aceh, baik melalui jalur perdagangan maupun penyebaran agama Islam. Kubah-kubahnya yang megah, menara-menara yang menjulang, serta detail ornamen yang menghiasi setiap sudut masjid, semuanya mencerminkan keindahan dan keagungan seni arsitektur Islam yang berkembang di Asia Tenggara.
Selain menjadi pusat keagamaan dan pendidikan, Masjid Raya Baiturrahman juga berperan sebagai tempat berbagai kegiatan sosial dan budaya masyarakat Aceh. Berbagai acara penting, mulai dari perayaan hari besar Islam hingga kegiatan kemasyarakatan, sering kali digelar di masjid ini, menjadikannya sebagai pusat kehidupan masyarakat Aceh.
Keunikan Masjid Raya Baiturrahman juga terlihat dari berbagai detail arsitektur yang menggabungkan unsur-unsur lokal dan asing. Misalnya, penggunaan atap pelana pada beberapa bagian masjid, yang terinspirasi oleh arsitektur Cina, menunjukkan adanya pengaruh budaya Cina yang dibawa oleh kontraktor Cina, Lie A Sie. Atap ini dilengkapi dengan warna merah khas Cina, yang hingga kini masih dapat dilihat pada bagian depan masjid. Penggunaan material bangunan yang diimpor dari berbagai negara, seperti batu dari Cina, besi dari Belgia, kayu dari Birma, dan material dari Surabaya, juga menandakan betapa pentingnya masjid ini dalam sejarah Aceh serta bagaimana berbagai pengaruh luar telah diintegrasikan ke dalam budaya lokal.
Kubah utama masjid ini, yang merupakan bagian dari pembangunan awal kembali pada tahun 1881, dirancang dengan cita rasa estetika yang tinggi, memadukan elemen-elemen geometris dan ornamen floral yang khas. Ujung kubah diberi mahkota dengan kelopak bunga terbalik, yang mendasari tonggak jarum runcing yang menancap di puncak kubah, menciptakan sebuah siluet yang anggun dan megah. Desain ini menggabungkan keanggunan arsitektur Timur Tengah dengan kearifan lokal, menjadikan Masjid Raya Baiturrahman sebagai salah satu bangunan masjid paling ikonik di Asia Tenggara.






Selain kubah, menara-menara masjid yang menjulang tinggi juga menjadi elemen penting dalam arsitektur Masjid Raya Baiturrahman. Menara-menara ini, yang pertama kali ditambahkan pada tahun 1935 oleh Belanda, memperkuat kesan monumental dari bangunan masjid ini. Dengan struktur yang menjulang dan desain yang simetris, menara-menara ini tidak hanya berfungsi sebagai penanda waktu shalat melalui azan tetapi juga sebagai simbol kemegahan dan kekuatan spiritual.
Menariknya, meskipun masjid ini telah mengalami berbagai perubahan dan renovasi, elemen-elemen arsitektur tradisional Aceh tetap dipertahankan. Misalnya, bagian bawah kubah yang berbentuk seperti payung terbuka adalah adopsi dari arsitektur atap tumpang, yang merupakan ciri khas bangunan tradisional Aceh. Unsur-unsur tradisional ini menunjukkan adanya kesinambungan budaya yang terjaga dengan baik di tengah perkembangan zaman dan masuknya pengaruh luar.
Selain itu, kolam-kolam air yang mengelilingi masjid, terutama di depan tangga masuk, juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Dalam ajaran Islam, air adalah lambang kesucian, dan kolam ini berfungsi sebagai penyerap panas serta menambah kesejukan di sekitar masjid. Penggunaan elemen air ini juga merupakan bagian dari arsitektur tradisional Aceh, di mana air selalu dihadirkan sebagai elemen penting dalam kehidupan sehari-hari.
Selain aspek arsitektur, Masjid Raya Baiturrahman juga memiliki interior yang kaya dengan detail artistik dan ornamen khas. Bagian dalam masjid dihiasi dengan ornamen-ornamen yang menggabungkan motif bunga dan kaligrafi Islam yang indah. Pada bagian mihrab, terlihat adanya ukiran-ukiran dengan motif geometris dan floral yang dikerjakan dengan sangat teliti. Mihrab ini juga menjadi pusat perhatian di dalam masjid, dengan desain lengkung setengah lingkaran yang monumental dan dilapisi dengan batu alam berwarna hitam.
Di sisi kiri dan kanan mihrab, terdapat panel ornamen berwarna hijau giok yang dihiasi dengan motif sulur-suluran dan pintal tali. Ornamen ini memberikan kesan elegan dan mendalam pada ruang ibadah, menciptakan suasana yang khusyuk dan penuh keagungan. Bagian bawah panel ornamen tersebut ditutupi dengan keramik berukuran kecil, yang menambah keindahan visual dan harmonisasi warna di dalam masjid.
Plafon masjid yang tinggi juga menjadi salah satu ciri khas Masjid Raya Baiturrahman. Plafon ini terbuat dari gypsum dengan motif khas Aceh yang dihiasi dengan warna-warna yang mencerminkan keindahan alam Aceh, seperti hijau, kuning, merah bata, dan ungu. Warna-warna ini tidak hanya memperindah bagian dalam masjid, tetapi juga menciptakan atmosfer yang hangat dan ramah bagi para jamaah yang datang untuk beribadah.
Perubahan besar juga terjadi pada bagian mimbar masjid. Pada awal pembangunannya, mimbar masjid berbentuk seperti kursi dengan sandaran tinggi dan terbuat dari semen. Namun, dalam renovasi berikutnya, mimbar ini diganti dengan bahan kayu yang dipahat dengan ornamen kaligrafi dan kelopak bunga sederhana. Mimbar ini memberikan kesan tradisional sekaligus modern, menambah nilai estetika ruang ibadah.
Tidak ketinggalan, pintu dan jendela masjid yang terbuat dari besi dengan ornamen kerawang tembus pandang menjadi elemen yang menambah keindahan masjid ini. Motif kerawang yang dominan digunakan pada masjid di Timur Tengah ini memungkinkan sirkulasi udara yang baik dan pencahayaan alami yang menembus masuk ke dalam ruang masjid. Kombinasi antara estetika dan fungsi ini menjadikan Masjid Raya Baiturrahman sebagai contoh arsitektur yang tidak hanya indah tetapi juga efisien.
Selain fungsi keagamaan, Masjid Raya Baiturrahman juga digunakan sebagai tempat untuk berbagai kegiatan pendidikan dan kajian keagamaan. Masyarakat Banda Aceh sering mengadakan pengajian, diskusi keagamaan, dan acara-acara pendidikan lainnya di masjid ini. Kehadiran masjid ini sebagai pusat pendidikan dan kajian keagamaan menunjukkan betapa pentingnya peran masjid dalam membangun dan memperkuat iman serta pengetahuan agama masyarakat Aceh.
Tidak hanya berfungsi dalam lingkup lokal, Masjid Raya Baiturrahman juga menarik perhatian di tingkat nasional dan internasional. Banyak wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, datang untuk melihat keindahan arsitektur dan merasakan suasana spiritual yang kuat di masjid ini. Bagi banyak orang, mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman adalah pengalaman yang mendalam, yang menawarkan pandangan sekilas ke dalam sejarah panjang Aceh serta warisan budayanya yang kaya.
Masjid Raya Baiturrahman, dengan tujuh kubahnya yang megah, lima menara yang menjulang, dan fasilitas modern yang melengkapi keindahan tradisionalnya, kini berdiri sebagai salah satu masjid terbesar dan paling bersejarah di Indonesia. Kemampuannya untuk bertahan melalui berbagai tantangan, dari perang hingga bencana alam, dan tetap menjadi pusat kehidupan spiritual dan sosial, menjadikannya sebagai simbol keteguhan iman dan kebesaran jiwa masyarakat Aceh.
Referensi:
- Djamil, M. (1968). Sejarah Masjid Raya Baiturrahman. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
- Ismail, M. (2010). Masjid Raya Baiturrahman: Simbol Peradaban Islam di Aceh. Banda Aceh: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Said, M. (1981). Aceh Sepanjang Abad. Medan: Waspada.
- Yatim, B. (1992). Arsitektur Masjid Raya Baiturrahman: Perpaduan Budaya Lokal dan Pengaruh Islam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan