Masjid Baiturrahim di Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia, merupakan peninggalan sejarah yang kaya akan nilai keagamaan dan budaya. Masjid ini didirikan pada abad ke-17, pada masa kejayaan Kesultanan Aceh, dengan nama awal Masjid Jami’ Ulee Lheue. Nama tersebut diambil dari kawasan Ulee Lheue, sebuah wilayah di pesisir Banda Aceh yang menjadi pusat kegiatan keagamaan dan perdagangan pada masa itu. Dalam dialek Belanda, nama masjid ini disebut “Olele,” menunjukkan pengaruh interaksi antara masyarakat Aceh dengan bangsa Eropa, khususnya Belanda, yang pada saat itu memiliki pengaruh kuat di wilayah ini.

Pada tahun 1873, peristiwa penting dalam sejarah Aceh terjadi ketika pasukan kolonial Belanda membakar Masjid Raya Baiturrahman, pusat ibadah utama di Banda Aceh. Kejadian ini memaksa masyarakat setempat untuk mencari tempat ibadah alternatif, dan Masjid Jami’ Ulee Lheue menjadi pilihan utama mereka. Sejak saat itu, masjid ini mendapatkan nama baru, yaitu Masjid Baiturrahim, yang mencerminkan semangat kebersamaan dan kerukunan warga Aceh dalam menghadapi masa-masa sulit.

Setelah peristiwa tersebut, Masjid Baiturrahim menjadi semakin penting dalam kehidupan masyarakat Banda Aceh. Pada tahun 1922, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melakukan pemugaran besar-besaran terhadap masjid ini. Pemugaran tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah kolonial untuk memperbaiki hubungan dengan rakyat Aceh setelah konflik yang berkepanjangan. Dengan bantuan masyarakat Meuraxa, masjid yang sebelumnya berstruktur semipermanen ini dibangun ulang menggunakan material permanen dengan sentuhan arsitektur Eropa. Salah satu ciri khas dari arsitektur baru ini adalah bangunan yang tidak memiliki kubah, melainkan atap datar yang lebih sederhana.

Proses pemugaran selesai pada tahun 1923, dan masjid ini mampu menampung sekitar 500 jamaah. Meskipun ukurannya relatif kecil, Masjid Baiturrahim tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan yang penting di Banda Aceh. Pada tahun 1981, atas bantuan dari Pemerintah Arab Saudi, masjid ini kembali dipugar dengan menambahkan sayap di sisi kanan dan kiri, sehingga daya tampungnya meningkat hingga 1.500 jamaah. Renovasi ini juga mencerminkan hubungan erat antara Aceh dan dunia Islam, khususnya dengan Arab Saudi, yang terus terjalin hingga kini.

Pemugaran besar yang dilakukan pada tahun 1981 tidak hanya memperluas kapasitas masjid, tetapi juga memperkuat strukturnya. Namun, dua tahun setelah pemugaran, pada tahun 1983, Banda Aceh diguncang oleh gempa bumi yang hebat. Bencana ini menyebabkan kerusakan yang cukup serius pada Masjid Baiturrahim. Kubah yang baru saja dibangun runtuh, dan banyak bangunan di sekitar masjid juga mengalami kehancuran. Renovasi kembali dilakukan, namun kali ini, kubah tidak lagi dipasang, dan atap masjid kembali menggunakan desain datar yang lebih sederhana. Keputusan ini diambil untuk menyesuaikan dengan kondisi geografis Aceh yang rawan gempa.

Masjid Baiturrahim telah melalui berbagai ujian alam, termasuk banjir besar yang melanda Banda Aceh pada tahun 2001. Meskipun bangunan masjid ini mengalami beberapa kerusakan akibat banjir, namun kerusakan tersebut tidak signifikan dibandingkan dengan yang dialami oleh bangunan lain di sekitarnya. Masyarakat setempat segera melakukan perbaikan, menunjukkan betapa pentingnya masjid ini dalam kehidupan sosial dan keagamaan mereka.

Puncak ujian bagi Masjid Baiturrahim terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, ketika gempa bumi berkekuatan 9,3 skala Richter mengguncang lepas pantai barat Sumatra, diikuti oleh gelombang tsunami yang dahsyat. Gelombang setinggi 21 hingga 30 meter menyapu pesisir utara Banda Aceh, termasuk kawasan Ulee Lheue, tempat masjid ini berdiri. Bencana tersebut meluluhlantakkan hampir seluruh bangunan di kawasan ini, dan ribuan nyawa melayang dalam hitungan menit.

Di tengah kehancuran tersebut, Masjid Baiturrahim tetap kokoh berdiri. Keajaiban ini menjadikan masjid ini sebagai simbol harapan dan ketahanan bagi masyarakat Aceh, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar Ulee Lheue. Meskipun beberapa bagian dari masjid mengalami kerusakan, seperti dinding yang retak dan kaca jendela yang pecah, bangunan utamanya tetap utuh. Banyak yang percaya bahwa keberadaan masjid ini yang tetap berdiri tegak di tengah reruntuhan menjadi penghibur hati dan sumber kekuatan bagi para penyintas tsunami.

Setelah bencana tsunami, Masjid Baiturrahim menjadi pusat bantuan kemanusiaan dan spiritual bagi masyarakat setempat. Masjid ini tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai posko untuk mendistribusikan bantuan, memberikan dukungan psikologis, dan sebagai tempat berkumpulnya komunitas untuk merencanakan langkah-langkah pemulihan. Pemerintah dan berbagai organisasi internasional turut membantu dalam merenovasi masjid ini pasca-tsunami, memperbaiki bagian-bagian yang rusak dan memastikan bahwa masjid ini dapat terus berfungsi sebagai pusat kehidupan keagamaan di Banda Aceh.

Dari segi arsitektur, meskipun bangunan masjid ini telah mengalami berbagai perubahan selama berabad-abad, elemen-elemen aslinya tetap dipertahankan untuk menjaga warisan sejarahnya. Struktur bangunan yang tahan gempa, meskipun sederhana, telah terbukti efektif dalam melindungi masjid dari berbagai bencana alam. Arsitektur Eropa yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 masih terlihat dalam beberapa elemen bangunan, meskipun telah disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan kondisi geografis Aceh.