Kerkhof Peucut, atau yang lebih dikenal sebagai Peutjut, adalah sebuah kompleks pemakaman militer yang terletak di pusat kota Banda Aceh. Namanya sendiri berasal dari bahasa Belanda, di mana “Kerkhof” berarti halaman gereja atau kuburan, sementara “Peutjut” diyakini merujuk pada putra Sultan Iskandar Muda, Meurah Pupok, yang dimakamkan di sana jauh sebelum Belanda mendirikan kompleks pemakaman ini. Seiring berjalannya waktu, nama Peutjut digunakan untuk menyebut kawasan ini, yang kemudian menjadi tempat peristirahatan bagi ribuan serdadu Belanda yang tewas selama Perang Aceh.

Kompleks pemakaman ini menjadi saksi bisu dari perjuangan rakyat Aceh melawan kolonialisme Belanda yang berlangsung selama lebih dari enam dekade, dari tahun 1873 hingga 1942. Selama periode ini, sekitar 2.200 lebih tentara Belanda termasuk empat orang jenderal dimakamkan di Peutjut. Tak hanya tentara, beberapa penduduk pribumi yang direkrut sebagai tentara KNIL dan pasukan Marsose, terutama dari Ambon, Manado, dan Jawa, juga dimakamkan di sini. Hal ini terlihat dari sejumlah nama yang terukir di dinding kompleks tersebut, mencerminkan keanekaragaman asal usul mereka yang dikuburkan di sana.

Peutjut juga menyimpan kisah unik tentang Meurah Pupok, putra kesayangan Sultan Iskandar Muda, yang dihukum oleh ayahnya sendiri karena berbuat zina. Makamnya yang terpisah dari makam tentara Belanda lainnya menjadi penanda sejarah yang berbeda, menambah dimensi sejarah yang kaya di kompleks pemakaman ini.

Selain menjadi tempat peristirahatan bagi tentara Belanda dan beberapa penduduk pribumi, Peutjut juga menjadi simbol perlawanan gigih rakyat Aceh terhadap penjajahan. Setiap nisan di kompleks ini tidak hanya menceritakan kisah pertempuran tetapi juga menggambarkan dinamika yang terjadi selama Perang Aceh. Perang ini dikenal sebagai salah satu pertempuran paling berdarah dalam sejarah kolonial Belanda, di mana ribuan tentara Belanda dan puluhan ribu rakyat Aceh tewas dalam upaya mempertahankan kedaulatan wilayah mereka.

Pada tahun 1893, Belanda membangun sebuah gerbang kemenangan di kompleks pemakaman ini, yang dikenal sebagai “Ereport van Peutjut Kerkhof”. Gerbang ini didesain dengan megah, menggambarkan kebanggaan dan kehormatan bagi mereka yang gugur di medan tempur. Di dinding gerbang ini, terukir nama-nama tentara yang tewas, lengkap dengan pangkat dan lokasi kematian mereka. Pada puncak gerbang, terdapat sebuah plakat yang berisi tiga untaian kalimat epik dalam tiga bahasa: Belanda, Melayu, dan Jawa. Plakat ini merupakan penghormatan bagi para pahlawan Belanda yang gugur, menandakan pentingnya peristiwa yang terjadi di tanah Aceh dalam konteks sejarah kolonial Belanda.

Tidak kurang dari 2.200 nama terukir di batu nisan dan dinding marmer di Peutjut. Namun, ini hanya sebagian kecil dari mereka yang tewas dalam Perang Aceh. Diperkirakan, lebih dari 12.000 tentara Belanda dan 70.000 orang Aceh kehilangan nyawa mereka selama konflik tersebut. Meskipun hanya sebagian kecil yang dimakamkan di Peutjut, kompleks ini tetap menjadi salah satu peninggalan fisik terbesar dan paling signifikan dari Perang Aceh.

Peutjut Kerkhof tidak hanya menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi tentara yang gugur, tetapi juga menjadi simbol ketegangan antara Belanda dan rakyat Aceh. Setiap pertempuran yang terjadi antara kedua belah pihak meninggalkan jejak yang mendalam di tempat ini. Salah satu cerita menarik adalah tentang perwira pertama yang dimakamkan di Peutjut, yakni Luitenant J.J.P. Weijerman. Weijerman tewas dalam pertempuran di dekat Masjid Siem, Krueng Kalee, pada tanggal 20 Oktober 1883. Meskipun ada perbedaan keterangan tentang tahun kematiannya, yang pasti makamnya menjadi awal dari tradisi pemakaman militer Belanda di Peutjut.

Peutjut juga dikenal dengan makam-makam yang dibangun dengan penuh kehormatan dan penghormatan, terutama bagi para perwira dan tentara dari Korps Marechaussee, sebuah unit elit dalam Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL). Korps ini dikenal dengan kemampuan tempurnya yang luar biasa, terutama dalam perang gerilya di pedalaman Aceh. Marechaussee sering kali bertempur satu lawan satu dengan pejuang Aceh menggunakan klewang, senjata tradisional yang menjadi ciri khas dalam pertempuran jarak dekat. Kemampuan dan keberanian mereka dalam medan perang seringkali diabadikan dalam batu nisan yang megah di Peutjut.

Gerbang utama Peutjut, yang juga dikenal sebagai Ereport, menjadi simbol dari penghormatan dan kebanggaan bagi tentara yang gugur. Lorong sepanjang 10 meter dengan dinding granit nan tinggi, dihiasi dengan nama-nama tentara yang gugur, menciptakan suasana yang khidmat dan penuh dengan nuansa sejarah. Di bagian puncak gerbang, terdapat plakat marmer dengan tiga untaian kalimat epik yang mengabadikan semangat juang para tentara Belanda di Aceh. Kalimat ini menjadi pengingat bagi para pengunjung akan peristiwa tragis yang terjadi di tanah Aceh.

Pendirian dan perkembangan Peutjut Kerkhof ini tidak terlepas dari peran penting beberapa tokoh Belanda yang terlibat langsung dalam Perang Aceh. Salah satunya adalah Jenderal Kohler, yang merupakan salah satu komandan pasukan Belanda dalam ekspedisi pertama ke Aceh pada tahun 1873. Jenderal Kohler tewas dalam pertempuran di depan Masjid Raya Baiturrahman, dan kematiannya menandai awal dari perjuangan panjang antara Belanda dan Aceh. Meski jasad Kohler awalnya dimakamkan di Batavia (sekarang Jakarta), namun pada tahun 1978, jasadnya dipindahkan ke Aceh dan dimakamkan ulang di Peutjut sebagai simbol penghormatan terhadap jasa-jasanya dalam memimpin pasukan Belanda.

Selain Kohler, beberapa jenderal dan perwira Belanda lainnya juga dimakamkan di Peutjut, seperti Mayor Jenderal Johannes Ludovicius Jacobus Hubertus Pel yang tewas pada tahun 1876 dan Mayor Jenderal Henry Demmeni yang tewas pada tahun 1886. Nama-nama mereka terukir di batu nisan dan dinding marmer di kompleks pemakaman ini, menunjukkan bahwa Peutjut bukan hanya tempat peristirahatan bagi tentara biasa, tetapi juga bagi para perwira tinggi yang memiliki peran penting dalam sejarah kolonial Belanda di Aceh.

Dalam catatan sejarah, dikenal istilah “Atjeh Moorden” atau “pembunuhan Aceh”, yang merujuk pada serangan gerilya yang dilancarkan oleh pejuang Aceh terhadap tentara Belanda. Serangan ini sering kali dilakukan secara tiba-tiba dan dengan taktik yang tidak terduga, membuat Belanda kesulitan untuk mengendalikan wilayah Aceh secara penuh. Banyak tentara Belanda yang gugur dalam serangan ini, dan mereka yang tewas dimakamkan di Peutjut sebagai bagian dari sejarah panjang konflik antara Belanda dan Aceh.

Dalam konteks yang lebih luas, Peutjut Kerkhof tidak hanya menjadi saksi dari pertempuran fisik antara Belanda dan Aceh, tetapi juga mencerminkan strategi politik yang diterapkan oleh Belanda dalam usaha menaklukkan Aceh. Salah satu tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam strategi ini adalah Prof. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis dan penasihat pemerintah Belanda yang memiliki pemahaman mendalam tentang Islam dan masyarakat Aceh. Snouck Hurgronje dikenal dengan pendekatannya yang unik, yaitu dengan menganjurkan agar Belanda lebih fokus memerangi para ulama dan pemimpin agama di Aceh, daripada menghabiskan tenaga untuk melawan kaum bangsawan.

Strategi ini terbukti efektif dalam memperlemah perlawanan rakyat Aceh, namun tetap memerlukan waktu yang panjang dan korban jiwa yang tidak sedikit. Salah satu pasukan yang paling dikenal dalam melaksanakan strategi ini adalah Korps Marechaussee, yang dibentuk khusus untuk melawan gerilyawan Aceh di pedalaman. Pasukan ini dikenal karena keberanian dan kemampuannya dalam pertempuran jarak dekat, di mana klewang menjadi senjata utama mereka. Kisah-kisah keberanian para prajurit Marechaussee yang gugur di medan tempur seringkali diabadikan dalam bentuk batu nisan yang megah di Peutjut, menandai kebanggaan Belanda atas pasukan elit ini.

Namun, Peutjoet Kerkhof tidak hanya berisi makam-makam para prajurit. Di sini juga terdapat makam-makam warga sipil, termasuk keluarga dari para tentara yang ikut menetap di Aceh selama masa penjajahan. Beberapa dari mereka adalah dokter, pendeta, dan tokoh masyarakat yang turut mendukung upaya Belanda dalam menguasai Aceh. Mereka juga diberi penghormatan dengan nisan yang indah, meski tidak setinggi pangkat militer. Hal ini menunjukkan bahwa Peutjut bukan sekadar kuburan militer, tetapi juga menjadi tempat peristirahatan bagi berbagai individu yang terlibat dalam sejarah panjang kolonialisme di Aceh.

Pendudukan Jepang membawa perubahan besar dalam tatanan sosial dan politik di Aceh, termasuk dalam hal pengelolaan dan perawatan situs-situs bersejarah seperti Peutjut. Jepang, yang lebih fokus pada upaya perang dan pemanfaatan sumber daya alam untuk keperluan militer, tidak memberikan perhatian khusus pada pemakaman-pemakaman Belanda yang tersebar di seluruh Aceh, termasuk Peutjut. Akibatnya, banyak makam di Peutjut yang terbengkalai dan mulai rusak seiring berjalannya waktu.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kondisi Peutjut Kerkhof semakin memburuk. Pada masa revolusi kemerdekaan, banyak situs-situs yang berhubungan dengan kolonialisme Belanda diabaikan, termasuk Peutjut. Sentimen anti-Belanda yang kuat pada masa itu membuat banyak orang tidak peduli pada situs-situs peninggalan kolonial, bahkan beberapa makam di Peutjut dirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, usia makam-makam yang sudah tua juga berkontribusi pada kerusakan yang terjadi.

Namun, meskipun mengalami masa-masa sulit, Peutjoet Kerkhof tidak sepenuhnya dilupakan. Pada awal tahun 1970-an, seiring dengan membaiknya hubungan antara Indonesia dan Belanda, ada upaya untuk merawat kembali situs ini. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam upaya ini adalah Kolonel J.H.J. Brendgen, seorang veteran tentara Marsose yang pernah bertugas di Aceh. Setelah beberapa kali berkunjung ke Aceh dan melihat kondisi Peutjut yang memprihatinkan, Brendgen memprakarsai penggalangan dana untuk pemugaran pemakaman ini. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil, dan pada tahun 1974, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh menyatakan bahwa pemeliharaan Peutjut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Dengan dukungan dari Stichting Peutjut Fonds, sebuah yayasan yang didirikan oleh para veteran Belanda, Peutjoet Kerkhof kembali mendapatkan perhatian dan perawatan yang layak. Yayasan ini terus berupaya menggalang dana dan bekerja sama dengan pemerintah lokal untuk memastikan bahwa situs ini tetap terjaga dan dapat menjadi saksi bisu dari sejarah panjang yang melibatkan Belanda dan Aceh.

Usaha pemugaran dan perawatan Peutjoet Kerkhof yang dilakukan oleh Stichting Peutjut Fonds serta dukungan dari pemerintah daerah, perlahan namun pasti, mengembalikan kehormatan situs ini sebagai tempat peristirahatan terakhir para tentara Belanda dan warga sipil yang terlibat dalam Perang Aceh. Yayasan ini, yang dipimpin oleh veteran dan pensiunan tentara Belanda, berhasil menggalang dukungan tidak hanya dari komunitas Belanda, tetapi juga dari masyarakat internasional yang peduli akan pelestarian situs bersejarah.

Salah satu momen penting dalam pemugaran Peutjut terjadi pada tahun 1982, ketika dilakukan renovasi besar-besaran yang melibatkan perbaikan struktur bangunan gerbang, penggantian nisan yang rusak, serta penataan ulang tata letak makam. Pada kesempatan ini, nama-nama yang telah hilang atau tidak terbaca pada batu nisan diidentifikasi kembali dan dipahat ulang. Dengan demikian, Peutjoet Kerkhof tidak hanya menjadi tempat peristirahatan yang terhormat, tetapi juga sebagai monumen sejarah yang menceritakan kembali kisah Perang Aceh dari sudut pandang yang lebih seimbang.

Pemugaran ini juga membawa dampak positif dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda. Peutjut menjadi simbol rekonsiliasi antara kedua negara yang pernah terlibat dalam konflik panjang. Dalam beberapa kesempatan, delegasi resmi dari Belanda, termasuk anggota keluarga dari para tentara yang dimakamkan di sana, datang berkunjung ke Peutjut untuk memberikan penghormatan. Momen-momen ini mencerminkan betapa Peutjut tidak hanya menjadi saksi sejarah, tetapi juga sebagai jembatan perdamaian antara dua bangsa.

Kini, Peutjoet Kerkhof menjadi salah satu objek wisata sejarah yang penting di Banda Aceh. Wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara, datang untuk melihat dan memahami lebih dalam tentang sejarah yang terjadi di tanah Aceh. Peutjut tidak hanya menyimpan kisah tentang peperangan, tetapi juga menyimpan pesan tentang keberanian, ketangguhan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang melintasi batas waktu dan budaya.

Di antara elemen yang paling menarik di Peutjoet Kerkhof adalah berbagai jenis makam dan tugu peringatan yang menghiasi kompleks ini. Masing-masing makam tidak hanya mencerminkan status sosial dan militer dari individu yang dimakamkan, tetapi juga menggambarkan keanekaragaman asal usul mereka. Sebagai contoh, makam tentara KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) dari Eropa biasanya ditandai dengan gelar kemiliteran dan nama lengkap mereka, sementara makam tentara pribumi, terutama yang berasal dari Ambon dan Jawa, diberi tanda khusus seperti “Amb” untuk Ambonese dan “I” untuk Inlander atau pribumi.

Selain itu, Peutjut juga menjadi tempat peristirahatan bagi pasukan elit Belanda, Korps Marechaussee, yang terkenal dalam pertempuran gerilya di Aceh. Di Peutjut, terdapat tugu khusus yang didedikasikan untuk para anggota Korps Marechaussee yang gugur dalam perang. Tugu ini, yang didirikan pada tahun 1930, menjadi simbol kehormatan bagi pasukan yang dikenal dengan keberanian mereka dalam menghadapi perlawanan rakyat Aceh. Tugu ini dikelilingi oleh makam-makam anggota Marechaussee yang diukir dengan nama mereka, memberikan kesan betapa pentingnya peran mereka dalam upaya Belanda menguasai Aceh.

Tidak hanya tentara, di Peutjut juga terdapat makam beberapa tokoh sipil, seperti dokter, pendeta, dan keluarga dari anggota KNIL. Salah satu makam yang terkenal adalah makam Letnan T.J. Jorritsma, seorang dokter militer yang tewas dalam ekspedisi di Aceh pada tahun 1877. Makamnya, yang memiliki desain yang unik dengan tiga tingkatan dan atap berbentuk rumah Aceh, menjadi salah satu daya tarik di Peutjut. Keindahan dan keunikan makam ini menggambarkan betapa pentingnya peran dokter militer dalam mendukung upaya kolonial Belanda di Aceh.

Pada masa kini, Peutjut Kerkhof telah berkembang menjadi lebih dari sekadar situs pemakaman militer. Kompleks ini telah menjadi sebuah monumen sejarah yang mencerminkan hubungan yang rumit antara Aceh dan Belanda, dari masa konflik hingga rekonsiliasi. Bagi para pengunjung, Peutjut menawarkan kesempatan untuk memahami lebih dalam tentang sejarah panjang dan penuh konflik yang pernah terjadi di wilayah ini.

Bagi masyarakat Aceh, Peutjut bukan hanya sekadar peninggalan sejarah kolonial, tetapi juga bagian dari identitas mereka yang mengingatkan akan perjuangan dan keteguhan dalam menghadapi penjajahan. Meskipun kompleks ini dibangun oleh penjajah, penghormatan yang diberikan kepada situs ini menunjukkan sikap terbuka masyarakat Aceh terhadap sejarah mereka sendiri. Ini adalah bukti bahwa meskipun luka sejarah mungkin masih ada, proses penyembuhan dan pemahaman dapat berjalan seiring waktu.

Referensi: