Gedung Juang, yang dikenal juga dengan nama Gedung Baperis (Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda), merupakan salah satu bangunan bersejarah di Banda Aceh. Bangunan ini dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1883 dengan bahan berkualitas tinggi. Struktur gedung ini didominasi oleh bahan kayu dan beton yang kokoh, dengan pintu dan jendela yang terbuat dari kayu tebal dan kuat. Gedung ini terdiri dari tiga kamar dan satu aula besar, yang pada masanya berfungsi sebagai Kantor Gubernur Belanda dan Kantor Keuangan Pemerintah Belanda di Aceh.

Setelah Indonesia merdeka, fungsi gedung ini berubah. Saat ini, gedung tersebut dikenal sebagai Gedung Juang dan digunakan sebagai kantor bagi Veteran Republik Indonesia Angkatan 45, PPABRI (Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) . Keberadaannya yang kini ditetapkan sebagai cagar budaya nasional menunjukkan nilai sejarah yang tinggi, diresmikan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 014/M/1999 tanggal 12 Januari 1999.

Di halaman depan Gedung Juang, terdapat sebuah tugu dengan prasasti yang berbunyi, “Di tempat ini penaikan Sang Saka Merah Putih pertama dengan melalui insiden antara Rakjat dengan Serdadu Kolonial Jepang (TGL. 24-8-1945).” Tulisan ini menegaskan peran penting gedung ini dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama di Aceh. Meski berada di pusat Kota Banda Aceh, suasana di sekitar gedung ini seringkali tampak tenang, berbeda dengan hiruk-pikuk kota pada umumnya. Di sekitarnya, terdapat Makam Sultan Iskandar Muda dan penerusnya, yang semakin menambah nilai historis kawasan ini.

Gedung ini juga menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa penting dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, berita kemerdekaan ini dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia, termasuk Banda Aceh yang pada masa itu dikenal sebagai Koetaradja. Berita tersebut diterima pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi. Seorang pimpinan Jepang di Aceh secara diam-diam menyampaikan informasi ini kepada Syamaun Gaharu, seorang Chu-i (letnan satu) di Gyugun, tentara bentukan Jepang di Aceh pada masa itu.

Berita kemerdekaan ini membawa semangat baru bagi masyarakat Aceh untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada 24 Agustus 1945, hanya beberapa hari setelah berita kemerdekaan sampai di Aceh, sekelompok pemuda Aceh dengan berani mengibarkan bendera Merah Putih di depan Gedung Juang, yang saat itu masih dikenal sebagai Atjeh Syu Keimubu (Kantor Polisi Jepang). Insiden pengibaran bendera ini menimbulkan ketegangan dengan tentara Jepang yang masih bertugas di wilayah tersebut. Tentara Jepang mencoba menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera mereka, Hinomaru, namun pemuda Aceh tidak menyerah.

Para pemuda Aceh yang hadir pada upacara pengibaran bendera tersebut tetap bersikukuh mempertahankan Merah Putih di tiang bendera. Ketika tentara Jepang menurunkan bendera Indonesia dan kembali menaikkan Hinomaru, mereka menunggu sampai tentara Jepang pergi sebelum sekali lagi mengibarkan Merah Putih. Peristiwa ini berulang beberapa kali, menunjukkan keberanian dan keteguhan hati para pemuda Aceh dalam mempertahankan simbol kemerdekaan mereka.

Salah satu tokoh yang menonjol dalam peristiwa tersebut adalah Muhammad Amin Bugis, seorang polisi Aceh. Ketika melihat tentara Jepang berkali-kali menurunkan bendera Merah Putih, ia mengambil tindakan berani. Dengan penuh tekad, ia merampas kembali bendera Merah Putih dari tangan tentara Jepang dan memanjat tiang bendera untuk mengikat bendera tersebut di puncak tiang dengan kuat. Sebelum turun, Amin Bugis memotong tali pengerek bendera dengan pisau, memastikan bahwa bendera Merah Putih tidak bisa lagi diturunkan dengan mudah. Tindakan heroik ini membuat tentara Jepang tidak berdaya, dan mereka akhirnya meninggalkan tempat tersebut tanpa berani menurunkan bendera lagi.

Insiden pengibaran bendera ini menjadi titik balik penting dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh. Bendera Merah Putih yang berkibar dengan gagah di depan Gedung Juang, di tengah keberadaan tentara Jepang, menjadi simbol keberanian dan semangat perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah. Tidak lama setelah insiden tersebut, Gedung Juang pun diambil alih dan diubah fungsinya menjadi Kantor Kepolisian Republik Indonesia di Aceh. Semangat juang rakyat Aceh terus menyebar ke seluruh pelosok wilayah, dengan bendera Merah Putih mulai berkibar di setiap kantor pemerintah, rumah, dan jalan-jalan utama.

Gedung Juang, yang pada masa pendudukan Jepang dikenal sebagai Atjeh Syu Keimubu, juga memiliki peran penting setelah kemerdekaan Indonesia diakui secara de jure. Gedung ini menjadi pusat kegiatan politik dan perlawanan, serta tempat berkumpulnya para pemimpin dan pejuang kemerdekaan. Di sini, berbagai strategi dirancang untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga stabilitas wilayah Aceh, yang selalu dikenal sebagai daerah yang memiliki semangat juang tinggi melawan penjajah.

Meskipun berada di lokasi yang strategis di pusat kota, suasana di sekitar Gedung Juang seringkali terasa sepi dan tenang, seakan menyiratkan ketidakpedulian terhadap nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Namun, bagi mereka yang memahami sejarah, gedung ini adalah saksi bisu dari perjuangan keras rakyat Aceh dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan identitas nasional mereka.

Selain sebagai saksi bisu perjuangan kemerdekaan, Gedung Juang juga memiliki arti simbolis bagi masyarakat Aceh. Bangunan ini tidak hanya menjadi tempat pertama kali Sang Saka Merah Putih dikibarkan di Banda Aceh, tetapi juga mencerminkan semangat juang dan keberanian rakyat Aceh dalam menghadapi berbagai tantangan. Terletak di Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah No. 15, Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, gedung ini berdiri di antara Museum Aceh dan Meuligoe Gubernur, menandai lokasinya yang penting secara geografis dan historis.

Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda, Gedung Juang terus berperan sebagai markas perjuangan dan tempat pertemuan para pemimpin serta pejuang kemerdekaan di Aceh. Gedung ini menjadi pusat aktivitas politik, di mana strategi-strategi untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjaga stabilitas wilayah dirancang dan disusun. Bahkan, hingga hari ini, Gedung Juang masih digunakan sebagai simbol pergerakan dan semangat nasionalisme yang kuat.

Selain Gedung Juang, di kompleks ini juga terdapat beberapa bangunan lain yang memiliki peran penting dalam sejarah Aceh. Di antaranya adalah makam Sultan Iskandar Muda dan makam raja-raja Aceh lainnya, yang berada di sisi selatan gedung. Lokasi ini berdekatan dengan Pendopo Gubernur Aceh, yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Kombinasi ini menjadikan kawasan Gedung Juang sebagai salah satu pusat sejarah dan kebudayaan paling signifikan di Banda Aceh.

Keberadaan Gedung Juang sebagai salah satu bangunan bersejarah di Banda Aceh juga menarik perhatian para sejarawan dan peneliti. Banyak yang tertarik menggali lebih dalam mengenai peran gedung ini dalam berbagai peristiwa sejarah, terutama yang berkaitan dengan perlawanan rakyat Aceh terhadap kolonialisme. Buku-buku sejarah seperti “Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area” karya A.K. Jakobi dan “Batu Karang di Tengah Lautan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh” oleh Teuku Alibasyah Talsya, memberikan gambaran detail tentang bagaimana Gedung Juang menjadi pusat aktivitas perlawanan dan simbol perjuangan rakyat Aceh.

Pada tahun 1969, setelah masa kemerdekaan dan stabilitas politik Indonesia mulai terbentuk, Gedung Juang kembali berubah fungsi. Gedung ini diambil alih oleh BAPERIS (Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda), sebuah organisasi tentara yang bertugas mengelola Museum Aceh setelah dipindahkan dari Blang Padang ke kompleks pendopo yang ada sekarang. Sejak itu, bangunan ini juga dikenal sebagai Gedung Baperis, nama yang masih digunakan hingga saat ini.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Gedung Juang sempat dijadikan sebagai kantor pemerintahan militer Jepang, atau Residen Aceh (Shu-chokan). Gedung ini menjadi tempat yang strategis bagi militer Jepang karena letaknya yang berada di pusat kota dan dekat dengan instalasi-instalasi penting lainnya. Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai ke Aceh, gedung ini menjadi saksi pertempuran simbolis antara rakyat Aceh yang ingin mengibarkan bendera Merah Putih dan tentara Jepang yang berusaha mempertahankan simbol-simbol kekuasaan mereka.

Di dalam kawasan Gedung Juang, selain bangunan utama, terdapat pula beberapa monumen dan situs bersejarah lainnya. Salah satunya adalah monumen kecil berbentuk gundukan batu yang dicat hitam, yang berada di sebelah barat gedung. Monumen ini menandai tempat pertama kali Sang Saka Merah Putih dikibarkan di Aceh. Di samping monumen ini, terdapat beberapa meriam peninggalan Belanda yang terpajang rapi di halaman gedung, seolah menjadi saksi bisu akan perjuangan dan perlawanan yang pernah terjadi di tempat ini.

Kedekatan Gedung Juang dengan situs-situs bersejarah lainnya, seperti Makam Sultan Iskandar Muda dan Pendopo Gubernur Aceh, semakin menegaskan pentingnya lokasi ini dalam konteks sejarah dan budaya Aceh. Makam Sultan Iskandar Muda, yang terletak di sebelah selatan gedung, merupakan tempat peristirahatan terakhir salah satu pahlawan besar Aceh. Sementara itu, Pendopo Gubernur Aceh, yang hanya berjarak beberapa langkah dari Gedung Juang, juga memiliki cerita tersendiri dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh.

Kompleks Gedung Juang juga menjadi tempat berkumpulnya berbagai organisasi penting, termasuk Sekretariat Legiun Veteran Aceh, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Aceh, dan Sekretariat Zuriat Keluarga Besar Kesultanan Aceh. Keberadaan berbagai organisasi ini di dalam satu kompleks menunjukkan betapa pentingnya Gedung Juang tidak hanya dalam konteks sejarah tetapi juga dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Aceh masa kini.

Kondisi fisik Gedung Juang yang saat ini terawat baik menunjukkan adanya upaya dari berbagai pihak untuk menjaga warisan sejarah ini. Penetapan gedung ini sebagai cagar budaya nasional melalui Surat Keputusan Nomor 014/M/1999 menunjukkan pengakuan terhadap pentingnya bangunan ini dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah perlawanan rakyat Aceh. Namun, meskipun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, tantangan tetap ada dalam hal pelestarian dan pemeliharaan gedung ini agar tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.