Atjeh Drukkerij, atau jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti Percetakan Aceh, merupakan perusahaan percetakan pertama yang didirikan di Aceh pada awal abad ke-20. Berdiri sekitar tahun 1900, percetakan ini menjadi pionir dalam dunia penerbitan di wilayah Aceh, yang pada saat itu sebagian kecil masih berada di bawah kendali pemerintahan kolonial Belanda. Lokasi gedung ini berada di sebelah kiri Masjid Raya Baiturrahman, sebuah posisi yang strategis dan menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh selama lebih dari satu abad.
Sebelum berdirinya Atjeh Drukkerij, informasi tentang Aceh seringkali dipublikasikan di luar wilayah Aceh, seperti di koran Java Bode yang terbit di Batavia (sekarang Jakarta) atau Deli Courant yang terbit di Medan, Sumatera Utara. Kehadiran Atjeh Drukkerij menjadi sangat penting karena percetakan ini mampu mengolah dan menyebarkan informasi lokal secara lebih cepat dan efisien.
Percetakan ini tidak hanya mencetak buku-buku yang penting untuk mendokumentasikan sejarah dan kebudayaan Aceh, tetapi juga berperan dalam mencetak koran “Het Nieuwsblad voor Atjeh,” sebuah surat kabar yang diterbitkan oleh Belanda. Koran ini terbit setiap dua minggu sekali dan memiliki sirkulasi terbatas, terutama untuk kalangan Belanda dan para pedagang Tionghoa yang ada di Aceh. Keberadaan Atjeh Drukkerij menjadi semakin krusial ketika pada tahun 1912, tidak ada lagi surat kabar berbahasa Melayu di Aceh, menjadikannya sebagai satu-satunya sumber berita cetak di wilayah tersebut.
Pada masa itu, Aceh mengalami masa-masa sulit dalam upaya untuk menerbitkan surat kabar atau majalah lokal. Banyak penulis dan jurnalis Aceh yang akhirnya harus menerbitkan karya mereka di luar Aceh, seperti di Medan, Jakarta, atau Surabaya. Kondisi ini berubah seiring dengan perkembangan Atjeh Drukkerij yang mulai mampu mencetak berbagai publikasi lokal, meskipun seringkali mendapat tekanan dari pemerintahan kolonial yang ketat terhadap konten-konten yang dianggap mengandung pesan-pesan kebangsaan atau keinginan untuk merdeka.
Perkembangan dan Peran Strategis Atjeh Drukkerij
Seiring berjalannya waktu, Atjeh Drukkerij berkembang menjadi institusi yang lebih dari sekadar percetakan. Gedung ini menjadi saksi bisu dari berbagai perubahan sosial dan politik yang terjadi di Aceh dan sekitarnya. Pada tahun 1906, seorang pegiat media asal Sumatera Utara, Dja Endar Moeda, mencoba menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu yang bernama “Pemberita Atjeh.” Sayangnya, koran ini hanya bertahan hingga tahun 1909 akibat persaingan dengan surat kabar “Sinar Atjeh” yang dipimpin oleh Liem Soen What. Percetakan di Aceh pada masa itu masih didominasi oleh Atjeh Drukkerij, yang tetap mencetak koran “Het Nieuwsblad voor Atjeh” hingga tahun 1942.
Pada masa pendudukan Jepang di Aceh antara tahun 1942 hingga 1945, gedung Atjeh Drukkerij berubah fungsi di bawah kontrol Jepang. Percetakan ini digunakan untuk mencetak koran bernama “Atjeh Sinbun,” sebuah surat kabar Jepang yang berisi propaganda dan informasi yang disebarkan oleh pemerintah pendudukan. Pergeseran ini menunjukkan bagaimana gedung ini beradaptasi dengan perubahan kekuasaan yang terjadi di Aceh, dari pemerintahan kolonial Belanda ke pendudukan Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Atjeh Drukkerij mengalami perubahan fungsi yang signifikan. Gedung ini diambil alih oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan diubah menjadi Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). Peran Atjeh Drukkerij semakin penting ketika pemerintah menggunakan gedung ini untuk mencetak Oeang Repoeblik Indonesia Daerah (ORIDA) yang digunakan sebagai alat pembayaran resmi di wilayah Aceh. Peristiwa ini menandai salah satu momen bersejarah di mana percetakan ini tidak hanya berperan sebagai penerbit, tetapi juga sebagai simbol kedaulatan dan legitimasi pemerintahan Indonesia di Aceh.
Pada tahun 1960, gedung baru untuk Percetakan Negara Republik Indonesia mulai dibangun di samping gedung lama Atjeh Drukkerij. Meskipun demikian, gedung lama ini tetap memiliki nilai historis yang tinggi. Gedung ini menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan, serta bukti nyata dari perjalanan panjang sejarah percetakan di wilayah tersebut.
Masa-Masa Pendudukan dan Pasca-Kemerdekaan
Selama masa kemerdekaan, Atjeh Drukkerij tidak hanya berperan dalam mencetak uang negara tetapi juga menjadi pusat penerbitan berbagai materi yang mendukung perjuangan kemerdekaan. Beberapa koran dan publikasi yang pro-Indonesia dicetak di sini, meskipun seringkali harus berhati-hati karena ancaman dari pasukan Belanda yang berusaha menguasai kembali wilayah Indonesia, termasuk Aceh.
Seiring berjalannya waktu, gedung Atjeh Drukkerij perlahan-lahan kehilangan fungsinya sebagai percetakan. Transformasi ekonomi dan sosial di Banda Aceh menyebabkan gedung ini berubah fungsi menjadi pusat perdagangan. Kini, gedung yang dulu berfungsi sebagai percetakan bersejarah ini telah beralih menjadi toko pakaian dan souvenir yang dikenal dengan nama Aceh Collection. Pergeseran ini menandakan bagaimana warisan sejarah kadang terlupakan di tengah arus modernisasi, meskipun gedung ini menyimpan cerita penting tentang perjalanan sejarah Aceh dan peranannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia.






Peran Sosial dan Budaya Atjeh Drukkerij
Pada dekade pertama abad ke-20, beberapa penerbit lokal mulai muncul di Aceh. Namun, mereka menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal persaingan dengan surat kabar yang didukung oleh pemerintahan kolonial, serta keterbatasan akses terhadap percetakan. Salah satu contoh adalah Dja Endar Moeda, seorang tokoh media dari Sumatera Utara yang berusaha menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu di Aceh. Meskipun usahanya tidak bertahan lama, percobaannya ini menunjukkan semangat untuk mengembangkan media lokal yang independen di Aceh.
Selain itu, pada masa menjelang kemerdekaan, Atjeh Drukkerij juga berperan penting dalam mencetak majalah dan surat kabar yang memuat pemikiran-pemikiran kebangsaan dan agama yang mendukung perjuangan kemerdekaan. Salah satu contohnya adalah majalah “Penyuluh” yang diterbitkan oleh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tahun 1939. Majalah ini memuat tulisan-tulisan yang bertujuan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan mempromosikan kesadaran beragama di kalangan masyarakat Aceh. Sayangnya, seperti banyak publikasi lainnya pada masa itu, majalah “Penyuluh” hanya dapat bertahan beberapa edisi sebelum dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda karena isinya yang dinilai terlalu radikal.
Selain majalah “Penyuluh,” Atjeh Drukkerij juga mencetak surat kabar mingguan “Gubahan” yang dipimpin oleh Teuku Muhammad Ali Panglima Polem dan Teuku Djohan Meuraxa. Surat kabar ini, meskipun hanya bertahan dalam beberapa edisi, menjadi salah satu media yang berani menyuarakan aspirasi kemerdekaan dan memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh. Setelah dihentikannya “Gubahan” oleh pemerintah kolonial, banyak penulis dan pemikir Aceh yang kemudian mengirimkan tulisan mereka ke surat kabar di luar Aceh, seperti “Pewarta Deli” dan “Sinar Deli” yang terbit di Medan.
Warisan dan Tantangan Pelestarian Atjeh Drukkerij
Meskipun gedung Atjeh Drukkerij tidak masuk dalam daftar situs atau bangunan cagar budaya di Banda Aceh, banyak sejarawan dan tokoh masyarakat yang menganggap bahwa bangunan ini seharusnya dilestarikan. Harun Keuchik Leumik, seorang tokoh Aceh yang dikenal dengan upayanya dalam menjaga warisan budaya, pernah mengusulkan agar gedung Atjeh Drukkerij dijadikan sebagai museum percetakan. Dalam pandangannya, mesin-mesin cetak lama, dokumen-dokumen, dan koran-koran awal abad ke-20 yang dicetak di gedung ini bisa dipajang sebagai bagian dari upaya pelestarian sejarah percetakan di Aceh.
Namun, sayangnya, usulan tersebut hingga kini belum mendapatkan tanggapan yang serius. Gedung Atjeh Drukkerij yang kini telah beralih fungsi menjadi toko pakaian dan souvenir, Aceh Collection, justru semakin jauh dari fungsi awalnya sebagai pusat percetakan bersejarah. Perubahan fungsi ini menimbulkan keprihatinan mendalam, mengingat gedung ini adalah salah satu dari sedikit bangunan bersejarah di Banda Aceh yang selamat dari hantaman tsunami pada tahun 2004.
Tsunami yang melanda Banda Aceh pada tahun 2004 telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur kota, termasuk banyak situs bersejarah. Namun, gedung Atjeh Drukkerij yang telah berdiri selama lebih dari seratus tahun, tetap kokoh meski mengalami beberapa kerusakan. Hal ini menunjukkan kekuatan struktur bangunan serta nilai sejarahnya yang tak ternilai. Ironisnya, meskipun gedung ini berhasil bertahan dari bencana alam, ancaman terbesar bagi keberlangsungannya justru datang dari kelalaian manusia yang tidak memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian situs-situs bersejarah.
Atjeh Drukkerij bukan hanya sebuah bangunan tua; ia adalah simbol dari dinamika sosial, politik, dan budaya Aceh sepanjang abad ke-20. Bangunan ini menyimpan kenangan tentang masa kolonial, pendudukan Jepang, perjuangan kemerdekaan, hingga masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Setiap sudut gedung ini menceritakan kisah tentang bagaimana media cetak berkembang di Aceh, serta peran penting yang dimainkan oleh percetakan dalam menyebarkan ide-ide, informasi, dan semangat perjuangan.